Kamis, 07 Januari 2010

Di Sore Ini
Linjana bengong tanpa ekspresi melihat jam dinding yang baru saja menyalak empat kali menyatakan dengan angkuh bahwa waktu yang disebut pukul empat sore baru saja menjelma.  “ Ternyata aku tlah tidur empat jam”, gumamnya dalam hati.  Segera ia teringat akan hand phone miliknya.  Tanpa beranjak sedikitpun dari tempat tidur, dilihatnya handphone yang tergeletak tak berdaya di sampingnya itu.  “ Ah, tak dibalas”, gumamnya kecewa disertai perubahan air mukanya menjadi sekusut seprei yang teracak akan tubuh tambunnya.  Seketika itu dipejamkan kembali kedua bola matanya itu.
Dalam terpejam ia begitu merasa aneh.  Ia tak habis pikir mengapa hanya kerna pesan singkat yang ia kirim tak kunjung mendapat balasan ia menjadi begitu tak bersemangat.  Diambilnya nafas dalam-dalam dan dihembuskannya kuat-kuat seraya membuka mata dengan malas, “Mungkinkah aku?”, pikirnya, “Ah! Tak mungkin!”, gumamnya menolak hypothesis yang baru saja terlintas di kepalanya.
Memang, sekarang Linjana bimbang.  Ia tak mau mengakui bahwa ia tengah terjangkit virus ”yang mereka sebut sebagai cinta”.  Dan jika kau Tanya mengapa, maka ia akan menjawab dingin, “Tersisakah apa yang mereka sebut dengan cinta itu untukku?”, dan dia akan memeruskan ucapnya, “Lagipula aku juga tak mengerti  dengan apa yang mereka sebut cinta itu”.  Itulah Linjana, orang yang merasa tak pernah jatuh cinta.  Baginya persahabatan lebih menarik daripada “apa yang mereka sebut cinta”.  Tapi jauh di dalam hatinya sebenarnya ia juga memendam suatu rasa yang ia sendiri tak tahu apa itu pada seorang gadis yang menurutnya cantik, pintar, cerdas, dan sangat sempurna.  Anehnya, jika ia bertemu dengan gadis itu, untuk tersenyum menyapanya saja Linjana merasa begitu sulit, padahal Linjana terkenal ramah dan suka menyapa meskipun ketika ia menyapa seseorang ia hanya akan berkata, “hai” dan tersenyum sambil lalu.  Entah apa pula yang dirasakan seorang yang Linjana kagumi itu padanya.  Dalam bait-bait peasn singkat yang Linjana kirim, Linjana begitu terlihat ramah, suka bercanda dan pandai bermain kata, tetapi di dalam kehidupan sehari-harinya ia menemukan seorang Linjana sebagai orang yang begitu kaku kepadanya.  Mungkin juga terlintas dibenaknya bahwa seorang Linjana berkepribadian ganda.  Tapi jika ia pikir seperti itu maka ia salah besar.  Linjana hanya luntur kepercayaan dirinya tanpa sebab jika bertemu dengannya, sehingga hanya berlalu bagai angin yang bisu.
Setelah menguap dan menggeliat beberapa kali, iapun beranjak dari kamar tanpa mematikan lampu dengan wajah kusut dan langkah yang amat malas.  Ia merasa kantung kemihnya penuh dan harus segera mengkosongkannya kembali.  “Eh, anak ibu sudah bangun”, sapaan setengah mengejek dari ibunya yang tengah menonton televisi bersama adik terkecilnya Tereza.  Linjana adalah anak pertama dai tiga bersaudara.  Adaik pertamanya bernama Arvi.  Hampir mirip dengan Linjana, Arvi bertubuh tambun.  Tetapi Arvi berkulit lebih cerah dari Linjana.  Arvi memang membawa gen warna kulit dari ibunya sementara Linjana mewarisi gen warna kulit dari ayahnya yang berkulit sawo matang.  Arvi berumur sepuluh tahun.  Lebih muda lima tahun dari Linjana dan lebih tua dua tahun dari Tereza.  Linjana tak begitu menggubris sapaan ibunya, ia hanya menguap dan berlalu dari ruang keluarga menuju ke kamar mandi di dapur.  Baru beberapa langkah meninggalkan, “Linjana! Matikan dulu lampu kamarmu! Listrik itu juga bayar!”, kata ibunya agak meninggikan nada bicaranya.  Ayah Linjana yang sedang bekerja di ruang belajar melirik Linjana dan kembali sibuk dengan pekerjaannya. “Sebentar bu, sudah gak tahan!”, jawab Linjana sambil mempercepat langkahnya ke kamar mandi.  Sayup-sayup masih terdengar suara ibunya dengan nada agak kesal itu ketika Linjana sampai di kamar mandi.  Segera saja ia mengkosongkan kantung kemihnya.  Setelah semua bersih, Linjana pun memutuskan untuk mengambil air wudlu dan kembali ke kamarnya.  Dari kejauhan, ia melihat lampu kamar bercat hijau itu telah dimatikan.  Bukan hanya itu, gorden bertema senada dengan cat kamarnyapun telah terbuka lebar sehingga menyilakan sinar mentari senja memenuhi ruang itu.  Linjana hanya tersenyum nakal dan ketika bertemu ibunya yang masih duduk santai di ruang keluarga ia berkata, ”Terimakasih bu”, dan kontan dijawab ibunya dengan nada yang masih agak kesal, ”Jangan dibiasakan seperti itu, termasuk pemborosan. Dan tak tahukah kamu Linjana, di luar sana masih banyak rumah-rumah yang amat mendambakan benderangnya cahaya lampu, maukah kau jika Allah mencabut nikmatnya itu darimu karena kamu tak memanfaatkannya dengan baik?”, ya, ya, ya, semua yang dikatakan ibu Linjana selalu benar.  Masih banyak kaum yang mendambakan rumahnya mendapat cahaya lampu di malam yang gulita.  Linjanapun kembali menatap ibunya dan sekali lagi berkata, “Terimakasih bu” sambil tersenyum dan kemudian masuk kembali ke kamar, mengenakan sarung dan menjalankan kewajiban utamanya pada satu-satunya Tuhan yang ia yakini ada, Allah SWT.  Memang, kebiasaan terburuk Linjana adalah ketika ia berada di dalam kamar, ia selalu menutup pintu, menutup gorden dan menyalakan lampu.
Setelah selesai menjalankan empat rekaat sholat ashar, iuapun berdzikir dan  meluapkan segala keluh kesah kepada Allah.  Tak Lupa ia mendoakan kedua orang tua tersayangnya, adik-adiknya dan seluruh umat muslim di dunia.  Linjanapun tak henti-hentinya bersyukur atas segala yang telah Allah berikan untuknmya.  Tak lupa ia meminta pada Allah akan kemakmuran negaranya.  Ia begitu prihatin atas kasus-kasus yang mengikis darah daging kekayaan negaranya.  Ia tak henti heran, mengapa para petinggi-petinggi itu begitu tamak akan harta.  Memang, harta bisa membeli segala di dunia.  Tapi itu takkan lama dan takkan selamanya karena duniapun punya batas usia yang telah ditentukan olehNYA, lama sebelum IA menciptakan itu.  Dan bagi Linjana, uang yang diperoleh dari hasil yang “kotor” tak akan mampu memberi kebahagiaan.  Hanya mampu memberi kebahagiaan semu yang berujung pada siksa dari Allah pada alam kekal nanti.  Tapi itulah manusia, makhluk yang takkan pernah puas dengan apa yang dimilikinya.  Memang benar pepatah yang mengatakan, “ rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau ”.
Setelah ia puas berkeluh kesah kepada sang Pencipta, ia kembali merebahkan tubuhnya.  Diambilnya gitar dan ia segera menyanyikan sebuah lagu yang ia gubah sendiri.  Lagu itu ia ciptakan untuk mengungkapkan sedikit perasaannya kepada gadis yang sama sejak dari dulu hingga sekarang.  Dan lagu itu ia beri judul “Suara Jiwa ”.  Ia bernyanyi di nada D = do.  Ia slalu merasa bahagia ketika melantunkan lagu itu.  Lagu ini pula yang membuatnya takkan pernah bisa melupakan gadis poujaan hatinya itu.  Meskipun lagu itu tak pernah ia perdengarkan kepada siapapun.  Ia bercita-cita memperdengarkan lagu itu kepada seorang gadis yang begitu ia kagumi itu ketika suatu nanti jika ia sudah tak kehilangan kepercayaan dirinya saat berpapasan dengannya.  “Apakah aku benar-benar merasakan apa yang mereka sebut dengan cinta?”, pikirnya dalam hati ketika bibirnya sibuk melantunkan larik demi larik syair lagu itu.  “Tapi, mengapa aku tak berani mengatakan itu meski pada diriku sendiri”,  meneruskan kebimbangan dalam hatinya sambil terus melantunkan bait demi bait lagu kesayangannya itu.  Dan lamunan linjana segera sirna ketika dengan angkuhnya, hand phone yang hampir saja ia lupakan keberadaannya menjerit menyatakan adanya sebuah pesan masuk.  Segera letakkan gitarnya dan mengambil hand phone yang sedari tadi tergeletak di sebelahnya. 
1 message

Princess

30-12-09, 16 : 30
Senyum segera berkembang di bibir linjana yang agak kehitaman tetapi bukan karena rokok, ia mewarisinya dari ayahnya.  “Mengapa kau begitu lama”, gumamnya sambil membuka pesan itu. 
Sori, balesnya lama…
Q td g d perjalanan pulng dari rumah.na kakek q…
Capek banget nih…
“Pantas saja SMS ku lama sekali dibalas”, kata Linjana dalam hati.  Linjana memang sudah hafal akan kebiasaan gadis cantiknya itu.  Ia takkan menundukkan lama-lama kepalanya dalam mobil karena ia akan segera merasa pusing.  Itulah sebab ia takkan membalas pesan singkat ketika berada di dalam mobil.    “tak apa cantik, tak apa”, gumam Linjana dan segera Linjana membalas SMS dari gadis yang begitu ia idam-idamkan itu.
^_^   gak pa2…
Mandi gih,… dah sore…
Dan sebuah SMS kembali membuat hand phone Linjana berteriak.
Tau aja lo q lom mandi, hehehe…
Ya dah, tak mandi dulu ya, ta-ta… ^-^
Linjana terkekeh sendiri.  Ia begitu bersemangat sekarang, “Inikah?”, gumam Linjana dalam senyum bahagianya.  Diraihnya bulpoint hitam dan segea ia goreskan pada selembar halaman buku.
Disore Ini
Kali ini diriku benar-benar terselimuti
Perasaan bersemi bagai mekar bunga melati
Tak bisa berkata dab hanya menatap indah pada segala

Anak panah sang dewi tlah begitu dalam pada hati
Dan si anak ingusan inipun melayang bermusuh gravitasi
Hanya bahagia
Hanya bahagia

O, samakah ia?


Notes:  Aku benar-benar tengah terjangkit apa yang mereka sebut “cinta”.  Karena kau… 
hanya karena dirimu… 
hanya dirimu Icha…


  
Ehrm…  aku mau ngucapin terima kasih sebanyak-banyaknya atas selesainya tulisan singkat ini kepada Allah SWT, mamah, papah, adek-adekku, my green room, my pen, dan of course you all who read it…  please,,, give your comment guys!!!!