MATERI PROYEKSI PETA
Peta merupakan gambaran permukaan bumi dalam skala yang lebih kecil
pada bidang datar. Suatu peta ‘idealnya’ harus dapat memenuhi ketentuan
geometrik sebagai berikut :
Jarak antara
titik yang terletak di atas peta harus sesuai dengan jarak sebenarnya di
permukaan bumi (dengan memperhatikan faktor skala peta)
Luas
permukaan yang digambarkan di atas peta harus sesuai dengan luas sebenarnya di
permukaan bumi (dengan memperhatikan faktor skala peta)
Besar sudut
atau arah suatu garis yang digambarkan di atas peta harus sesuai dengan besar
sudut atau arah sebenarnya di permukaan bumi
Bentuk yang
digambarkan di atas peta harus sesuai dengan bentuk yang sebenarnya di
permukaan bumi (dengan memperhatikan faktor skala peta)
Pada daerah yang relatif
kecil (30 km x 30 km) permukaan bumi diasumsikan sebagai bidang datar, sehingga
pemetaan daerah tersebut dapat dilakukan tanpa proyeksi peta dan tetap memenuhi
semua persyaratan geometrik. Namun karena permukaan bumi secara keseluruhan
merupakan permukaan yang melengkung, maka pemetaan pada bidang datar tidak
dapat dilakukan dengan sempurna tanpa terjadi perubahan (distorsi) dari bentuk
yang sebenarnya sehingga tidak semua persyaratan geometrik peta yang ‘ideal’
dapat dipenuhi.
4.1 Pengertian Proyeksi
Peta
Proyeksi Peta adalah
prosedur matematis yang memungkinkan hasil pengukuran yang dilakukan di
permukaan bumi fisis bisa digambarkan diatas bidang datar (peta). Karena permukaan
bumi fisis tidak teratur maka akan sulit untuk melakukan
perhitungan-perhitungan langsung dari pengukuran. Untuk itu diperlukan
pendekatan secara matematis (model) dari bumi fisis tersebut. Model matematis
bumi yang digunakan adalah ellipsoid putaran dengan besaran-besaran tertentu.
Maka secara matematis proyeksi peta dilakukan dari permukaan ellipsoid putaran
ke permukaan bidang datar.
IV
- 1
Gambar
4.1 Proyeksi peta dari permukaan bumi ke bidang datar Gambar 4.2 Koordinat Geografis dan Koordinat Proyeksi
Proyeksi peta diperlukan dalam
pemetaan permukaan bumi yang mencakup daerah yang cukup luas (lebih besar dari
30 km x 30 km) dimana permukaan bumi tidak dapat diasumsikan sebagai bidang
datar. Dengan sistem proyeksi peta, distorsi yang terjadi pada pemetaan dapat
direduksi sehingga peta yang dihasilkan dapat memenuhi minimal satu syarat
geometrik peta ‘ideal’.
4.2
Klasifikasi dan Pemilihan Proyeksi Peta
Proyeksi peta dapat diklasifikan
menurut bidang proyeksi yang digunakan, posisi sumbu simetri bidang proyeksi,
kedudukan bidang proyeksi terhadap bumi, dan ketentuan geometrik yang dipenuhi.
4.2.1 Menurut bidang proyeksi yang
digunakan
Bidang proyeksi adalah bidang yang
digunakan untuk memproyeksikan gambaran permukaan bumi. Bidang proyeksi
merupakan bidang yang dapat didatarkan. Menurut bidang proyeksi yang digunakan,
jenis proyeksi peta adalah:
Proyeksi Azimuthal
Bidang proyeksi yang digunakan adalah
bidang datar. Sumbu simetri dari proyeksi ini adalah garis yang melalui pusat
bumi dan tegak lurus terhadap bidang proyeksi.
Proyeksi Kerucut (Conic)
Bidang proyeksi yang digunakan adalah
kerucut. Sumbu simetri dari proyeksi ini adalah sumbu dari kerucut yang melalui
pusat bumi.
Proyeksi Silinder (Cylindrical)
Bidang proyeksi yang digunakan adalah
silinder. Sumbu simetri dari proyeksi ini adalah sumbu dari silinder yang
melalui pusat bumi.
4.2.2 Menurut posisi sumbu simetri
bidang proyeksi yang digunakan
Menurut posisi sumbu simetri bidang
proyeksi yang digunakan, jenis proyeksi peta adalah:
Proyeksi Normal (Polar)
Sumbu simetri bidang proyeksi
berimpit dengan sumbu bumi
Proyeksi Miring (Oblique)
Sumbu simetri bidang proyeksi membentuk
sudut terhadap sumbu bumi
Proyeksi Transversal (Equatorial)
Sumbu simetri bidang proyeksi tegak
lurus terhadap sumbu bumi
Tabel 4.1 Jenis proyeksi peta menurut
bidang proyeksi dan posisi sumbu simetrinya
4.2.3 Menurut
kedudukan bidang proyeksi terhadap bumi
Ditinjau dari kedudukan bidang
proyeksi terhadap bumi, proyeksi peta dibedakan menjadi :
Proyeksi Tangent (Menyinggung)
Apabila bidang proyeksi bersinggungan
dengan permukaan bumi
Proyeksi Secant (Memotong)
Apabila bidang proyeksi berpotongan
dengan permukaan bumi
Gambar 4.4 Kedudukan bidang proyeksi terhadap bumi
4.2.4 Menurut ketentuan geometrik
yang dipenuhi :
Menurut ketentuan geometrik yang
dipenuhi, proyeksi peta dibedakan menjadi :
Proyeksi Ekuidistan
Jarak antara titik yang terletak di
atas peta sama dengan jarak sebenarnya di permukaan bumi (dengan memperhatikan
faktor skala peta)
Proyeksi Konform
Besar sudut atau arah suatu garis
yang digambarkan di atas peta sama dengan besar sudut atau arah sebenarnya di
permukaan bumi, sehingga dengan memperhatikan faktor skala peta bentuk yang
digambarkan di atas peta akan sesuai dengan bentuk yang sebenarnya di permukaan
bumi.
Proyeksi Ekuivalen
Luas permukaan yang digambarkan di
atas peta sama dengan luas sebenarnya di permukaan bumi (dengan memperhatikan
faktor skala peta)
4.3 Pemilihan proyeksi peta
Dalam pemilihan proyeksi peta yang
akan digunakan, terdapat beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu
Tujuan penggunaan dan ketelitian peta
yang diinginkan
Lokasi geografis dan luas wilayah
yang akan dipetakan
Ciri-ciri asli yang ingin
dipertahankan atau syarat geometrik yang akan dipenuhi
Dalam
melakukan pemilihan proyeksi peta sebaiknya memperhatikan hal-hal berikut ini:
Pemetaan topografi suatu wilayah
memanjang dengan arah barat-timur, umumnya menggunakan proyeksi kerucut,
normal, konform, dan menyinggung di titik tengah wilayah yang dipetakan.
Proyeksi seperti ini dikenal sebagai proyeksi LAMBERT.
Pemetaan dengan wilayah yang wilayah
memanjang dengan arah utara-selatan, umumnya menggunakan proyeksi silinder,
transversal, konform, dan menyinggung meridian yang berada tepat di tengah
wilayah pemetaan tersebut. Proyeksi ini dikenal dengan proyeksi Tranverse
Mercator (TM) atau Universal Tranverse Mercator (UTM).
Pemetaan wilayah di sekitar kutub,
umumnya menggunakan proyeksi azimuthal, normal, konform. Proyeksi ini dikenal
sebagai proyeksi stereografis.
4.4 Proyeksi Peta yang umum dipakai
di Indonesia
4.4.1
Proyeksi Polyeder
Proyeksi Polyeder adalah proyeksi
kerucut normal konform. Pada proyeksi ini, setiap bagian derajat dibatasai oleh
dua garis paralel dan dua garis meridian yang masing-masing berjarak 20′.
Diantara kedua paralel tersebut terdapat garis paralel rata-rata yang disebut
sebagai paralel standar dan garis meridian rata-rata yang disebut meridian
standar. Titik potong antara garis paralel standar dan garis meridian standar
disebut sebagi ‘titik nol’ (ϕ0, λ0) bagian derajat tersebut.
Setiap bagian derajat proyeksi Polyeder diberi nomor dengan dua digit angka.
Digit pertama yang menggunakan angka romawi menunjukan letak garis
paralel standar (ϕ0)
sedangkan digit kedua yang menggunakan angka arab menunjukan garis meridian
standarnya (λ0).
Untuk wilayah Indonesia penomoran
bagian derajatnya adalah :
Paralel standar :
dimulai dari I (ϕ0=6°50′ LU) sampai LI (ϕ0=10°50′ LU)
Meridian standar :
dimulai dari 1 (λ0=11°50′ BT) sampai 96 (λ0=19°50′ BT)
Proyeksi Polyeder beracuan pada
Ellipsoida Bessel 1841 dan meridian nol Jakarta (λjakarta=106°48′ 27′′,79
BT)
Gambar 4.5 Bagian derajat
Proyeksi Polyeder
4.4.2 Proyeksi Tranverse Mercator
Proyeksi Tranverse Mercator adalah
proyeksi yang memiliki ciri-ciri silinder, tranversal, conform dan menyinggung.
Pada proyeksi ini secara geografis silindernya menyinggung bumi pada sebuah meridian
yang disebut meridian sentral. Pada meridian sentral, faktor skala (k) adalah 1
(tidak terjadi distorsi). Perbesaran sepanjang meridian akan semakin meningkat
pada meridian yang semakin jauh dari meridian sentral kearah timur maupun
kearah barat. Perbesaran sepanjang paralel semakin akan meningkat pada
lingkaran paralel yang semakin mendekati equator. Dengan adanya distorsi yang
semakin membesar, maka perlu diusahakan untuk memperkecil distorsi dengan
membagi daerah dalam zone-zone yang sempit (daerah pada muka bumi yang dibatasi
oleh dua meridian).
Lebar zone proyeksi TM biasanya
sebesar 3º. Setiap zone mempunyai meridian sentral sendiri. Jadi seluruh
permukaan bumi tidak dipetakan dalam satu silinder
Gambar 4.6 Proyeksi
Mercator
4.4.3 Proyeksi Universal Tranverse
Mercator (UTM)
Proyeksi UTM adalah proyeksi yang
memiliki mercator yang memiliki sifat-sifat khusus. Sifat-sifat khusus yang
dimiliki oleh proyeksi UTM adalah :
a. Proyeksi : Transvere Mercator
dengan lebar zone 6°.
b. Sumbu pertama (ordinat / Y) :
Meridian sentral dari tiap zone
c. Sumbu kedua (absis / X) : Ekuator
d. Satuan : Meter
e. Absis Semu (T) : 500.000 meter
pada Meridian sentral
f. Ordinat Semu (U) : 0 meter di
Ekuator untuk belahan bumi
bagian Utara dan 10.000.000 meter di
Ekuator untuk belahan bumi bagian
Selatan
g. Faktor skala : 0,9996 (pada
Meridian sentral)
h. Penomoran zone : Dimulai dengan
zone 1 dari 180° BB s/d 174° BB,Tzone 2 dari 174° BB s/d 168° BB, dan
seterusnya sampai zone 60 yaitu dari 174° B s/d 180° BT.
i. Batas Lintang : 84° LU dan 80° LS
dengan lebar lintang untuk masing-masing zone adalah 8°, kecuali untuk bagian
lintang X yaitu 12°.
j. Penomoran bagian derajat lintang :
Dimulai dari notasi C , D, E, F sampai X (notasi huruf I dan O tidak
digunakan).
Gambar 4.7 Pembagian Zone
Proyeksi UTM
Wilayah Indonesia terbagi dalam 9
zone UTM, dimulai dari meridian 90° BT sampai meridian 144° BT dengan batas
lintang 11° LS sampai 6° LU. Dengan demikian, wilayah Indonesia terdapat pada
zone 46 sampai dengan zone 54.
4.4.4 Proyeksi Tranverse Mercator 3° (TM-3°)
Proyeksi TM-3°
adalah proyeksi yang memiliki mercator yang memiliki sifat-sifat khusus.
Sifat-sifat khusus yang dimiliki oleh proyeksi TM-3° adalah :
a. Proyeksi : Transverse Mercator
dengan lebar zone 3°
b. Sumbu pertama (ordinat / Y) : Meridian
sentral dari tiap zone
c. Sumbu kedua (absis / X) : Ekuator
d. Satuan : Meter
e. Absis Semu (T) : 200.000 meter + X
f. Ordinat Semu (U) : 1.500.000 meter
+ Y
g. Faktor skala : 0,9999 (pada
Meridian sentral)
h. Penomoran zone : Dimulai dengan zone
46.2 dari 93° BT s/d 96° BT, zone 47.1 dari 96° BT s/d 99° BT, zone
47.2 dari 99° BT s/d 102° BT, zone 48.1 dari 102° BT s/d 105° BT dan
seterusnya sampai zone 54.1 dari 138° BT s/d 141° BT
i. Batas Lintang : 6° LU dan 11° LS
Proyeksi TM-3° digunakan oleh Badan
Pertanahan Nasional. Proyeksi ini beracuan pada Ellipsoid World Geodetic System
1984 ( WGS ‘84) yang kemudia disebut sebagai Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN
‘95)
Tabel 4.2 Daftar Zone Proyeksi UTM
dan TM-3° untuk Wilayah Indonesia